Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Pemkab Sumenep Menggelar Syukuran Calendar Event 2025 Sumenep, Lalu Apa yang Disyukuri?

Thursday, December 25, 2025 | Thursday, December 25, 2025 WIB
Ketika Pemkab Sumenep Menggelar Syukuran Calendar Event 2025 Sumenep, Lalu Apa yang Disyukuri?



Calendar Event 2025 Sumenep kembali digaungkan sebagai etalase kebanggaan daerah, sebagai bukti kerja keras pemerintah kabupaten yang katanya telah menghidupkan denyut ekonomi, pariwisata, dan UMKM. Di panggung-panggung resmi, narasi keberhasilan itu disusun rapi, diakhiri tepuk tangan dan pesta syukuran.

Namun, di luar gemerlap lampu acara, pertanyaan mendasar tetap menggantung di udara: apa yang sedang disyukuri dari selesainya Calendar Event 2025?

Sebagai warga yang mencoba berpikir waras, saya merasa terusik. Bukan karena pemerintah merayakan hasil kerja, tetapi karena yang dirayakan justru sesuatu yang hasilnya sulit diraba.

Calendar Event 2025 Sumenep diposisikan seolah tonggak kemajuan, padahal dampak nyatanya bagi kesejahteraan publik dan kemajuan Sumenep tak pernah dijelaskan secara jujur dan terbuka. Klaim peningkatan ekonomi UMKM terdengar indah, tetapi tanpa data, ia tak lebih dari kalimat promosi.

Sepanjang 2025, Sumenep memang sibuk luar biasa. Event datang silih berganti, menyita energi birokrasi, anggaran dan masyarakat. Dunia hiburan seperti menjadi pusat gravitasi kebijakan.

Festival srikaya menjadi pembuka yang ironis. Harapannya, festival itu mampu mengangkat nilai tambah komoditas lokal, menghadirkan inovasi olahan, mempertemukan petani dan pasar. Realitasnya jauh lebih sederhana, bahkan menyedihkan. Para pedagang dikumpulkan, buah dipajang, sambutan dibacakan, lalu acara selesai. Tidak ada loncatan nilai, tidak ada gagasan baru, tidak ada rasa bangga selain foto dokumentasi.

Festival ketupat di Pantai Slopeng tak kalah menggelitik. Lokasi wisata yang seharusnya menjadi wajah daerah justru dipertontonkan apa adanya. Fasilitas rusak, kawasan tak tertata, namun pidato pejabat mengalir lancar.

Retorika tentang menjual Sumenep ke dunia luar terdengar sumbang ketika infrastruktur dasar saja luput dari perhatian. Dalam kondisi seperti itu, event lebih mirip tamu pesta yang datang tanpa tuan rumah menyiapkan rumahnya.

Deretan festival berikutnya mempertegas kegamangan arah. Festival tong-tong yang justru menampilkan daul-daul, kesenian yang bukan akar budaya Sumenep. Festival etnik Madura yang miskin narasi, kehilangan konteks sejarah dan makna simbolik. Budaya direduksi menjadi hiburan kosong, sekadar tontonan tanpa cerita. Padahal budaya bukan sekadar bunyi dan gerak, melainkan ingatan kolektif yang seharusnya dirawat hati-hati.

Masuknya tong-tong Sumenep dalam kalender event nasional 2026 pun patut direnungkan ulang. Kebanggaan semu itu rapuh karena substansinya keliru. Yang ditampilkan seharusnya budaya tong-tong, bukan daul-daul, dan ini seperti sesuatu yang dipaksakan agar tampak ada hasilnya. Jika sejak awal pijakan budaya sudah salah, lalu apa yang sebenarnya sedang dipromosikan?

Ironi mencapai puncaknya ketika penghargaan diberikan bukan atas dasar pelayanan publik, melainkan kontribusi pada kalender event 2025. Direktur rumah sakit daerah diapresiasi karena terlibat dalam perhelatan hiburan, bukan karena peningkatan mutu layanan kesehatan. Di titik ini, orientasi kebijakan terasa bergeser. Ukuran prestasi menjadi kabur, bercampur antara kerja substansial dan partisipasi seremonial.

Pengumuman 110 Calendar Event 2026 di taman bunga menambah rasa heran. Bukan jumlahnya yang mengagetkan, melainkan prioritas yang ditampilkan. Di tengah persoalan kemiskinan, ketimpangan daratan dan kepulauan, serta kebutuhan infrastruktur dasar, yang disorot justru daftar event. Seolah masa depan Sumenep ditentukan oleh seberapa padat kalender hiburan, bukan oleh seberapa kuat fondasi kesejahteraan warganya.

Saya tidak menolak event. Festival dan perayaan punya tempat penting dalam pembangunan daerah. Namun, ia seharusnya menjadi alat, bukan tujuan. Event mestinya lahir dari visi besar, berpijak pada budaya lokal, berdampak ekonomi terukur, serta terhubung langsung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Saran saya sederhana. Pemerintah daerah perlu berhenti mabuk kesibukan (sibuk yang tidak membawa manfaat). Fokuslah kembali pada tujuan utama pembangunan: kesejahteraan masyarakat Sumenep yang berkelanjutan.

Ukur keberhasilan bukan dari ramainya panggung atau banyaknya spanduk, melainkan dari perubahan nyata dalam kehidupan warga, dari daratan hingga kepulauan, dari hari ini hingga tahun-tahun mendatang.


(*)
close